Pekik Kemuliaan. Морган Райс

Читать онлайн.
Название Pekik Kemuliaan
Автор произведения Морган Райс
Жанр Героическая фантастика
Серия Cincin Bertuah
Издательство Героическая фантастика
Год выпуска 0
isbn 9781632913937



Скачать книгу

hanya karena ia dipenuhi rasa bersalah dan khawatir terhadap Godfrey – namun juga kepada Thor. Ia tak dapat menyingkirkan bayangan Thor yang bertempur di medan perang – dijebak masuk perangkap Gareth, hampir tewas. Ia merasa harus menolong Thor dengan berbagai cara. Ia merasa hampir gila jika hanya duduk di sana.

      Gwen mendadak berdiri dan bergegas menyeberangi ruangan.

      “Mau ke mana kau?” tanya Illepra, suaranya meluncur dari gumaman doa-doa.

      Gwen melihat ke arahnya.

      “Aku akan kembali,” katanya. “Aku harus mencoba melakukan sesuatu.”

      Ia membuka pintu dan berlari keluar, menuju udara senja dan matanya menjadi silau: langit dihiasi warna merah dan ungu, matahari kedua terbenam bagai bola kehijauan di cakrawala. Akorth dan Fulton, untungnya, masih berdiri di sana, waspada. Mereka tercengang dan memandang kepadanya dengan rasa prihatin.

      “Apakah dia akan hidup?” tanya Akorth.

      “Aku tak tahu,” jawab Gwen. “Tetap di sini. Waspadalah.”

      “Dan kau mau ke mana?” tanya Fulton.

      Sebuah gagasan muncul saat ia memandang langit merah darah, merasakan aroma mistis di udara. Ada satu orang yang mungkin bisa menolongnya.

      Argon.

      Jika ada satu orang yang bisa Gwen percayai, satu orang yang menyayangi Thor dan tetap setia pada ayahnya, seseorang yang punya kekuatan untuk menolongnya dengan cara apapun, itu pastilah dia.

      “Aku perlu menemui seseorang yang spesial,” katanya.

      Ia berbalik dan bergegas, menyeberangi tanah lapang, menyentakkan kaki, berlari, menelusuri kembali jalan menuju pondok Argon.

      Ia sudah tak pernah ke sana lagi selama bertahun-tahun, bahkan sejak ia masih kecil. Tapi Gwen ingat Argon tinggal di sebuah tanah lapang terpencil dan berbatu. Ia terus berlari, hampir kehabisan nafas saat tanah lapang makin gersang, makin berangin, rerumputan berubah menjadi kerikil, lalu bebatuan. Angin bertiup kencang, dan saat ia melangkah pemandangan semakin menyeramkan, ia merasa sedang berjalan di permukaan sebuah bintang.

      Akhirnya ia sampai di pondok Argon, kehabisan nafas dan mengetuk pintu. Tak ada gagang pintu di sana, tapi Gwen tahu inilah tempatnya.

      “Argon!”serunya. “Ini aku! Putri MacGil! Biarkan aku masuk! Aku memberi perintah padamu!”

      Ia terus mengetuk, tapi satu-satunya jawaban adalah hembusan angin.

      Akhirnya ia menangis, tak berdaya. Langit merah darah berubah menjadi senjakala. Gwen berbalik dan berjalan menuruni bukit. Ia menghapus air mata dari wajahnya sambil berjalan, putus asa ke mana ia harus pergi selanjutnya.

      “Tolong ayah,” serunya sambil memejamkan mata.”Berikan aku tanda. Tunjukkan padaku ke mana aku harus pergi. Tunjukkan apa yang harus kulakukan. Tolong jangan biarkan putramu mati hari ini. Dan tolong jangan biarkan Thor mati. Kalau kau sayang padaku, jawablah aku.”

      Gwen berjalan membisu, mendengarkan angin. Tiba-tiba sebuah inspirasi melintas di benaknya.

      Danau. Danau Kesedihan.

      Tentu saja. Danau itu adalah tempat siapapun berdoa untuk seseorang yang sedang sekarat. Itu adalah danau kecil berair jernih di tengah Hutan Merah, dikelilingi pepohonan tinggi yang menjulang ke langit. Tempat itu suci.

      Terima kasih ayah karena telah menolongku, pikir Gwen.

      Ia merasa ayahnya ada bersama dengannya, lebih dari sebelumnya. Ia melesat cepat, berlari menuju Hutan Merah, menuju danau yang akan mendengarkan kesedihannya.

      *

      Gwen berlutut di tepi Hutan Merah, lututnya menimpa pinus lembut berwarna merah yang mengelilingi air seperti cincin. Ia memandang ke air yang tenang, air paling tenang yang pernah dilihatnya, memantulkan bulan yang baru terbit. Itu adalah bulan utuh, purnama, lebih bulat daripada yang pernah dilihatnya. Sementara matahari kedua sedang terbenam, bulan telah terbit, menempatkan keduanya di langit Cincin. Matahari dan bulan terpantul bersamaan, saling berhadapan di dalam danau. Dan Gwen merasakan kesakralan saat itu. Itu adalah jendela antara akhir dan awal hari. Di sini di saat dan tempat yang sakral ini, apapun menjadi mungkin.

      Gwen berlutut di sana, menangis, berdoa untuk semua yang dicintainya. Semua peristiwa beberapa hari terakhir terlalu membebaninya, dan ia mengungkapkan semuanya. Ia berdoa untuk kakaknya, juga untuk Thor. Ia tak bisa melepaskan bayangan akan kehilangan mereka berdua malam ini, tentang tak memiliki siapapun kecuali Gareth. Ia tak tahan memikirkan bahwa dirinya akan berlayar untuk dinikahkan dengan orang barbar. Ia merasa hidupnya runtuh, dan ia butuh jawaban. Lebih dari itu, ia butuh harapan.

      Ada banyak orang di kerajaannya yang berdoa pada Dewa Danau, Dewa Hutan, Dewa Gunung, atau Dewa Angin – tapi Gwen tak pernah mempercayai semuanya. Ia, seperti Thor, adalah beberapa yang melawan kepercayaan umum di kerajaannya dan mengikuti jalur radikal dengan mempercayai satu Tuhan, satu zat yang menguasai seluruh jagat. Kepada Tuhan inilah Gwen berdoa.

      Kumohon Tuhan, doa Gwen. Kembalikan Thor padaku. Jaga agar ia selamat dalam pertempuran. Biarkan ia bebas dari kesulitan. Tolong biarkan Godfrey hidup. Dan tolong lindungilah aku – jangan biarkan aku dibawa pergi dari sini, dinikahkan dengan orang liar itu. Akan kulakukan apapun. Berilah aku tanda. Tunjukkan apa yang Kau inginkan dariku.

      Gwen berlutut di sana untuk beberapa saat, tak mendengar apapun kecuali suara angin bertiup melalui tingginya pohon pinus tak berujung di Hutan Merah. Ia mendengar deritan ranting yang berayun di kepalanya, ujung-ujungnya menyentuh danau.

      “Berhati-hatilah dengan apa yang kau minta,” ujar sebuah suara.

      Ia berputar, tersentak dan terkejut melihat seseorang berdiri di sana, tak jauh darinya. Awalnya ia ketakutan, namun ia segera mengenali suara itu. Sebuah suara yang sangat tua, lebih tua dari pepohonan, lebih tua dari bumi dan hatinya merasa tenang saat ia menyadari siapa pemilik suara itu.

      Ia berbalik dan melihat orang itu berdiri, mengenakan jubah dan tudung putih, mata berkilauan, menyala menatapnya seakan hendak menjelajahi jiwa Gwen. Ia memegang tongkatnya, mengangkatnya ke arah matahari dan bulan.

      Argon.

      Gwen berdiri dan memandangnya.

      “Aku mencarimu,”katanya. “Aku datang ke pondokmu. Apa kau tak mendengarku mengetuk pintu?”

      “Aku mendengar segalanya,” jawabnya misterius.

      Gwen terdiam, heran. Wajah Argon tampak datar.

      “Katakan padaku apa yang harus aku lakukan,” katanya. “Aku akan lakukan apapun. Tolong, jangan biarkan Thor mati. Kau tak bisa membiarkan dia mati!”

      Gwen melangkah ke muka dan meraih pergelangan tangan Argon, memohon. Tapi saat Gwen menyentuhnya, ia dikejutkan oleh panas yang membara, menjalar melalui pergelangan tangan hingga ke tangannya. Gwen mundur, tak mampu melawan energi itu.

      Argon mendesah, berpaling darinya dan melangkah mendekati danau. Ia berdiri di sana menatap ke air, cahaya terpantul di matanya.

      Gwen berjalan ke sisinya dan berdiri terdiam di sana beberapa saat lamanya, menunggu sampai Argon siap untuk bicara.

      “Tak mungkin mengubah takdir,” katanya.”Harganya akan sangat mahal bagi orang yang memintanya. Kau ingin menyelamatkan nyawa. Itu perbuatan mulia. Tapi kau tak bisa menyelamatkan dua nyawa. Kau harus memilih.”

      Ia berbalik dan menatap Gwen.

      “Siapa yang kau selamatkan, Thor atau kakakmu? Salah satu dari mereka harus mati. Itu sudah digariskan.”

      Gwen merasa terkejut mendengarnya.

      “Pilihan macam apa itu?” tanyanya. “Dengan menyelamatkan satu orang, aku mengorbankan lainnya.”

      “Tidak,” kata Argon. “Mereka berdua ditakdirkan untuk mati. Maafkan aku. Tapi inilah takdir mereka.”

      Gwen merasa seolah sebuah belati menusuk perutnya. Mereka berdua harus