Название | Pekik Kemuliaan |
---|---|
Автор произведения | Морган Райс |
Жанр | Героическая фантастика |
Серия | Cincin Bertuah |
Издательство | Героическая фантастика |
Год выпуска | 0 |
isbn | 9781632913937 |
Erec menekan belati itu semakin kuat ke tenggorokan pria itu sampai darahnya mulai mengucur, dan pria itu mulai menjerit.
“Di mana bangsawan itu?” desis Erec, kehilangan kesabaran.
“Kastilnya ada di barat kota. Pergilah ke Gerbang Barat kota dan kastil itu tak jauh dari sana. Kau akan melihatnya. Tapi itu sia-sia. Ia membayar banyak uang untuk gadis itu – lebih daripada harga yang seharusnya.”
Erec tak tahan lagi. Tanpa berpikir panjang, ia memotong tenggorokan makelar seks itu, membunuhnya. Darah mengalir di mana-mana saat pria itu terbujur lemas di kursinya, mati.
Erec memandang ke arah mayatnya, ke arah para tukang pukul yang pingsan, dan merasa muak dengan tempat ini. Ia tak percaya tempat semacam ini benar-benar ada.
Erec berjalan menyusri ruangan dan mulai membuka tali yang mengikat semua wanita di situ, memotong tali yang tebal, membebaskan mereka satu per satu. Beberapa bangkit dan berlari ke arah pintu. Ruangan itu menjadi lengang, dan mereka semua berhamburan ke arah pintu. Beberapa terlalu mabuk untuk bangkit dan yang lainnya menolongnya.
“Siapapun dirimu,” satu wanita berkata pada Erec, berhenti sebelum ia keluar dari pintu, “diberkatilah kau. Dan ke manapun kau akan pergi, semoga Tuhan menolongmu.”
Erec menghargai rasa terima kasih dan berkat itu. Dan perasaannya mengatakan, ke mana ia akan pergi sekarang, ia akan membutuhkannya.
BAB SEPULUH
Fajar menyingsing, menyeruak dari jendela kecil pondok Illepra, menerpa mata Gwendolyn yang tertutup, dan membangunkannya perlahan. Matahari pertama yang berwarna jingga pucat, membelainya, membangunkannya di kesunyian pagi. Ia mengejap-ngejapkan matanya beberapa kali, mula-mula merasa bingung, heran ada di mana ia saat itu. Lalu ia pun menyadari:
Godfrey.
Gwen telah jatuh tertidur di lantai pondok, terbaring di kasur jerami dekat pembaringan Godfrey. Illepra tertidur tepat di sisi Godfrey, dan itu adalah malam panjang untuk mereka bertiga. Godfrey merintih sepanjang malam, tubuhnya menggigil dan gelisah. Dan Illepra merawatnya sekuat tenaga. Gwen berusaha membantu sebisanya, membawakan kain basah, memerasnya, mengompreskannya di kening Godfrey dan membawakan Illepra obat-obatan dan salep yang dimintanya terus menerus. Malam itu tampaknya tak pernah berakhir. Berulang kali Godfrey menjerit, dan ia merasa yakin Godfrey sedang sekarat. Berulang kali ia memanggil nama ayah mereka, dan Gwen merasa bergidik. Ia dapat merasakan kehadiran ayahnya, melayang-layang di antara mereka. Ia tak tahu apakah ayahnya ingin anak lelakinya ini hidup atau mati – hubungan mereka tak terlalu baik.
Gwen juga tidur di pondok karena ia tak tahu ke mana harus pergi. Ia merasa dirinya taka man jika kembali ke kastil, berada satu atap dengan kakaknya. Ia merasa aman di sini, di rumah Illepra, dengan Akorth dan Fulton yang berjaga di luar. Ia merasa tak seorang pun tahu di mana ia berada, dan biarlah seperti itu. Lagipula, telah tumbuh ikatan antara dia dan Godfrey dalam beberapa hari terakhir, ia menemukan kakak yang tak pernah dikenalnya, dan menyedihkan saat mengetahui ia sekarat.
Gwen segera berdiri, bergegas ke menuju Godfrey, jantungnya berdetak keras, bertanya-tanya apakah ia masih hidup. Sebagian darinya merasa kakaknya akan terbangun di pagi hari, ia akan hidup. Dan jika tidak, maka berakhirlah segalanya. Illepra terbangun dan menuju ke arahnya. Ia pasti tertidur di tengah malam, Gwen pasti akan memarahinya.
Mereka berdua berlutut di sana, di sisi Godfrey, di dalam pondok kecil yang dipenuhi cahaya. Gwen memegang pergelangan tangannya dan menggoyangkannya, sedangkan Illeppra menyentuhkan tangannya di kening Godfrey. Ia menutup matanya dan bernafas – mendadak Godfrey membuka matanya. Illepra menarik tangannya karena terkejut.
Gwen juga terkejut. Ia tak mengira Godfrey akan membuka matanya. Ia berpaling dan menatap ke arahnya.
“Godfrey?” tanyanya.
Ia menyipitkan matanya, memejamkan mata kemudian membuka mata kembali. Lalu, Gwen takjub, karena Godfrey menyangga tubuhnya dengan satu siku dan menatap mereka.
“Jam berapa ini?” tanyanya. “Di mana aku?”
Suaranya tampak waspada, sehat, dan Gwen merasa sangat lega. Ia tersenyum lebar bersama Illepra.
Gwen mendekap dan menyambut Godfrey, memeluknya, lalu mundur.
“Kau hidup!” serunya.
“Tentu aja,”katanya. “Mengapa tidak? Siapa ini?” tanyanya, berpaling ke arah Illepra.
“Wanita yang menyelamatkanmu,” jawab Gwen.
“Menyelamatkanku?”
Illepra menatap ke lantai.
“Aku hanya membantu sedikit,” katanya ramah.
“Apa yang terjadi padaku?” tanya Godfrey pada Gwen, panik. “Yang terakhir kuingat, aku sedang minum di kedai dan...”
“Kau diracun,” kata illepra. “Sebuah racun yang langka dan sangat kuat. Aku tak pernah menemukannya dalam beberapa tahun ini. Kau beruntung bisa hidup. Kenyataannya, kau satu-satunya yang selamat dari racun itu. Seseorang pasti sangat mengasihimu.”
Mendengar perkataan Illepra, Gwen tahu bahwa ia benar, dan segera ia teringat akan ayahnya. matahari menerobos lewat jendela, lebih kuat, dan ia merasakan kehadiran ayahnya bersama mereka. Ia ingin Godfrey hidup.
“Itu benar,” kata Gwen sambil tersenyum. “Kau sudah berjanji tidak minum-minum lagi. Sekarang lihat apa yang terjadi.”
Ia berpaling dan tersenyum ke arah Gwen. Gwen melihat pipinya kembali hidup dan terasa penuh dengan kelegaan. Godfrey telah kembali.
“Kau telah menyelamatkan aku,” katanya dengan sungguh-sungguh.
Ia melihat ke arah Illepra.
“Kalian berdua,” tambahnya. “Aku tak tahu bagaimana cara membalas kalian.”
Saat ia memandang Illepra, Gwen mengetahui sesuatu – ada sesuatu di mata Godfrey, sesuatu yang lebih daripada rasa terima kasih. Gwen berpaling dan melihat ke arah Illepra, pipinya merona, menunduk – dan Gwen menyadari mereka saling menyukai.
Illepra dengan cepat berbalik dan menyeberangi raungan, memunggungi mereka, menyibukkan diri dengan suatu ramuan.
Godfrey menatap Gwen.
“Gareth?” tanyanya, mendadak menjadi muram.
Gwen mengangguk, paham apa yang ditanyakan Godfrey.
“Kau beruntung kau tidak mati,” katanya. “Tapi Firth.”
“Firth?” Godfrey terdengar heran. “Mati? Bagaimana?”
“Ia menggantungnya di tiang gantungan,” katanya. “Kau seharusnya menyusul.”
“Dan kau?”tanya Godfrey.
Gwen mengangkat bahu.
“Ia berencana menikahkan aku. Ia menjualku ke Nevarun. Tampaknya mereka sedang ada di jalan untuk menjemputku.”
Godfrey terduduk, marah.
“Aku tak akan membiarkannya!” serunya.
“Demikian juga aku,” jawabnya. “Akan kucari jalan.”
“Tapi tanpa Firth kita tidak punya bukti,” katanya. “Kita tak mungkin mengalahkannya. Gareth akan bebas.”
“Kita akan cari jalan keluar,” jawabnya. “Kita akan –“
Mendadak pondok itu dipenuhi dengan cahaya saat pintu terbuka dan masuklah Akorth dan Fulton.
“Tuanku –“ kata Akorth, lalu berpaling ke arah Godfrey.
“Dasar bajingan!” seru Akorth kegirangan ke arah Godfrey. “Aku tahu itu! Kau selalu berpura-pura tentang semuanya – Aku tahu kau juga pura-pura mati!”
“Aku