Название | Penjelmaan |
---|---|
Автор произведения | Морган Райс |
Жанр | Героическая фантастика |
Серия | Jurnal Vampir |
Издательство | Героическая фантастика |
Год выпуска | 0 |
isbn | 9781632911810 |
"KOSONGKAN KANTONGMU!" bentak seorang petugas.
Caitlin memperhatikan remaja lain mengisi wadah plastik kecil dengan barang-barang dari saku mereka. Ia segera melakukan hal yang sama, memasukkan ipod, dompet, kunci-kuncinya.
Ia beringsut melalui detektor, dan sirene melengking.
"KAU!" bentak seorang petugas. "Minggir!"
Tentu saja.
Semua remaja memandanginya saat ia mengangkat tangannya, dan petugas itu mengarahkan pemindai genggam ke bagian atas dan bawah tubuhnya.
"Apakah kau mengenakan perhiasan?"
Ia meraba pergelangan tangannya, lalu garis lehernya, dan tiba-tiba teringat. Salibnya.
"Lepaskan," bentak petugas itu.
Itu adalah kalung nenek yang diberikan padanya sebelum beliau meninggal, salib kecil perak yang diukir dengan kata-kata dalam bahasa Latin yang tidak pernah beliau terjemahkan. Neneknya mengatakan itu adalah diwariskan oleh nenek beliau. Caitlin tidak terlalu religius, dan tidak benar-benar memahami apa makna semua itu, tapi ia tahu benda itu umurnya ratusan tahun, dan itu adalah benda miliknya yang sangat berharga.
Caitlin mengangkatnya dari bajunya, mengacungkannya, tapi tidak melepasnya.
"Saya lebih suka tidak melakukannya," jawabnya.
Petugas itu memandanginya, dengan tatapan sedingin es.
Tiba-tiba, terjadi keributan. Ada jeritan ketika seorang polisi mencengkram seorang remaja tinggi kurus dan mendorongnya ke dinding, mengeluarkan pisau kecil dari sakunya.
Panjaga itu pergi untuk membantu, dan Caitlin mempergunakan kesempatan itu untuk menyelusup dalam kerumunan yang bergerak menuju aula.
Selamat datang di sekolah umum New York, pikir Caitlin. Bagus.
Ia sudah menghitung hari-hari menuju kelulusannya.
*
Aula itu adalah aula paling luas yang pernah ia lihat. Ia tidak bisa membayangkan bahwa mereka akan dapat memenuhinya, tapi entah bagaimana mereka benar-benar memadatinya, dengan semua remaja yang berdesakan bahu ke bahu. Pasti ada ribuan remaja dalam aula ini, lautan wajah meregang tanpa akhir. Kebisingan di sini bahkan lebih parah, memantul di dinding, semakin pekat. Ia ingin menutup telinganya. Tapi ia bahkan tidak punya ruang bagi sikunya untuk mengangkat lengannya. Ia merasa klaustrafobia.
Lonceng berbunyi, dan energi itu bertambah.
Sudah terlambat.
Ia mencari-cari ruangan di kartunya lagi dan akhirnya menemukan ruangan itu di kejauhan. Ia mencoba untuk menyeruak di antara lautan tubuh, tapi tidak dapat menuju ke mana pun. Akhirnya, setelah beberapa kali berusaha, ia menyadari bahwa ia harus lebih agresif. Ia mulai menyikut dan mendesak. Satu tubuh pada satu waktu, ia memotong melewati semua remaja, menyeberangi aula yang luas, dan mendorong pintu berat supaya terbuka ke kelasnya.
Ia memberanikan diri atas semua pandangan karena ia, cewek baru, masuk terlambat. Ia membayangkan guru menyemprotnya karena mengganggu ruangan yang sunyi. Tapi ia terkejut menemukan bahwa itu tidak seperti bayangannya sama sekali. Ruangan ini, dirancang untuk 30 remaja tapi memuat 50, berdesakan. Beberapa remaja duduk di bangku mereka, dan yang lainnya berjalan di lorong, berseru dan berteriak satu sama lain. Ini adalah kekacauan.
Bel sudah berbunyi lima menit yang lalu, tapi guru itu, tidak rapi, mengenakan setelan kusut, bahkan belum memulai mengajar. Dia sebenarnya duduk dengan menaikkan kakinya di meja, membaca koran, mengabaikan siapa saja.
Caitlin berjalan mendekatinya dan meletakkan kartu identitas barunya di meja. Ia berdiri di sana dan menunggu dirinya untuk mendongak, tapi dia tidak melakukannya.
Ia akhirnya menelan ludah.
"Permisi."
Dia menurunkan korannya dengan enggan.
"Saya Caitlin Paine. Saya murid baru. Saya rasa saya harus memberikan ini pada Anda."
"Saya hanya guru pengganti," jawabnya, dan mengangkat korannya, menghalanginya.
Ia berdiri di sana, bingung.
"Jadi," ia bertanya, "....Anda tidak mengabsen?"
"Gurumu kembali di hari Senin," bentaknya. "Dia yang akan menanganinya."
Menyadari percakapan itu sudah selesai, Caitlin mengambil kembali kartu identitasnya.
Ia berbalik dan menghadapi ruangan itu. Kekacauan itu tidak berhenti. Jika ada anugerah yang menyelamatkan, setidaknya ia tidak mencolok. Tidak ada seorang pun di sini tampaknya peduli padanya, atau bahkan melihatnya sama sekali.
Di samping itu, mengamati ruangan penuh sesak benar-benar meruntuhkan syaraf: nampaknya tidak ada tempat tersisa untuk duduk.
Ia menguatkan dirinya dan; mencengkram buku hariannya, berjalan saat itu menuju lorong, mundur beberapa kali ketika ia berjalan di antara remaja-remaja nakal yang saling berteriak. Ketika ia sampai di belakang, ia akhirnya bisa melihat seluruh ruangan.
Tidak ada bangku kosong.
Ia berdiri di sana, merasa seperti orang bodoh, dan merasa para remaja lain mulai memperhatikan dirinya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia pasti tidak akan berdiri di sana sepanjang waktu, dan guru pengganti itu tidak nampak peduli sama sekali. Ia menoleh dan mencari lagi, mengamati dengan tidak berdaya.
Ia mendengar tawa dari beberapa lorong jauhnya, dan merasa yakin itu ditujukan padanya. Ia tidak berpakaian seperti para remaja ini, dan ia tidak terlihat seperti mereka. Pipinya memerah ketika ia mulai merasa benar-benar mencolok.
Tepat ketika ia bersiap-siap untuk keluar daru kelas itu, dan bahkan mungkin keluar dari sekolah ini, ia mendengar sebuah suara.
"Di sini."
Ia berbalik.
Di baris terakhir, di samping jendela, seorang remaja jangkung berdiri dari mejanya.
"Duduk," katanya. "Silahkan."
Ruangan itu agak sunyi ketika yang lainnya menunggu untuk melihat bagaimana ia akan bereaksi.
Ia berjalan ke arahnya. Ia mencoba untuk tidak memandang matanya - mata hijau besar yang bercahaya - tapi ia tidak bisa menahannya.
Dia ganteng. Ia memiliki kulit kuning langsat yang halus - ia tidak bisa mengatakan apakah dia Hitam, Spanyol, Putih, atau beberapa kombinasi - tapi ia tidak pernah melihat kulit halus dan lembut seperti itu, dilengkapi dengan garis rahang yang kaku. Rambutnya pendek dan berwarna coklat, dan tubuhnya kurus. Ada sesuatu tentang dirinya, sesuatu yang sangat tidak pada tempatnya. Dia kelihatan rapuh. Seorang seniman, mungkin.
Itu tidak seperti dirinya untuk terpesona dengan seorang laki-laki. Ia pernah melihat teman-temannya jatuh cinta, tapi ia tidak pernah benar-benar mengerti. Sampai saat ini.
"Di mana kau akan duduk?" tanyanya.
Ia mencoba mengendalikan suaranya, tapi tidak terdengar meyakinkan. Ia berharap dia bisa mendengar betapa gugupnya ia.
Ia tersenyum lebar, memperlihatkan gigi yang sempurna.
"Di sebelah sini," katanya, dan pindah ke kusen jendela besar, hanya beberapa kaki jauhnya.
Ia memandanginya, dan dia balas memandang padanya, mata mereka benar-benar tertambat. Ia mengatakan pada dirinya sendiri untuk memalingkan muka, tapi ia tidak bisa melakukannya.
"Terima kasih," ujarnya, dan dengan segera marah pada dirinya sendiri.
Terima kasih? Hanya itu saja yang kau bisa? Terima kasih!?
"Betul itu, Barrack!" teriak sebuah suara. "Berikan bangkumu cewek putih yang manis itu!"
Tawa mengikuti, dan kebisingan dalam ruangan itu tiba-tiba mulai lagi, sebagaimana setiap orang mengabaikan mereka lagi.
Caitlin melihatnya menundukkan kepalanya, malu.
"Barrack?"